Minggu, 07 Maret 2010

AKSARA JAWA


Sebagai orang jawa yang mungkin telah ilang jawane, tentu saja aku udah nggak tau dan gak bisa menulis dan membaca huruf Jawa. Dulu waktu es-de sampai dengan es-em-pe, tentu saja menulis dan membaca Jawa diajarkan dalam kurikulum sekolah. Maklum khan es-de dan es-em-pe-nya di jawa. Waktu itu, setiap ada ulangan bahasa Jawa, nilai yang kudapat gak jelek-jelek amat. Bahkan aku termasuk salah satu siswa yang paling ngerti tulisan Jawa. Kebetulan, bapak ku merupakan salah satu sesepuh desa yang nguri-uri bahasa dan budaya Jawa. Dalam hal ini Jawa Timur (baca: Malang).

Dulu seringkali aku mendapat beberapa pelajaran tentang tulisan dan bacaan Jawa di rumah. Bahkan, paklik (baca:paman) merupakan pelanggan setia majalah Jaya Baya yaitu majalah berbahasa Jawa yang terbit di Jawa Timur. Sehingga secara tak langsung, aku ditumbuhkan dalam lingkungan Jawa yang kental. Tembang-tembang Jawa (mocopat) dan gending-gending bukanlah hal yang asing ditelingaku kala itu.

identitas sebagai orang Jawa secara perlahan-lahan terkikis oleh waktu. Jangankan menulis dan membaca huruf-huruf Jawa, menyanyikan lagu-lagu dolanan anak-anak yang kala itu sering kumainkan bersama teman-teman kecilku pun, aku udah lupa sama sekali. Saat ini identitas yang melekat sebagai orang Jawa mungkin hanyalah nama belakangku serta kemampuan berbahasa Jawa kasar yang kadang aku gunakan berbincang dengan teman sedaerah.

Kadang kerinduan sebagai orang Jawa seringkali muncul. Rindu akan tembang, tulisan, bacaan atau pun budayanya. Rindu akan filosofi dan simbol-simbol Jawa. Memang aku bukanlah orang Jawa yang sebenar-benarnya menyukai budaya Jawa. Bahkan nonton wayang kulit aja aku nggak bisa bertahan lama. Namun, aku masih suka nonton ketoprak, ludruk atau ndengerin lagu-lagu Jawa.

Sebagai upaya untuk mencoba agar nggak kehilangan identitas sebagai orang Jawa, aku pun walaupun tidak bisa sepenuhnya, berusaha untuk mempertahankan identitas ini. Salah satunya cara yang mudah adalah saat memberi nama anak. Memang nama-nama orang Jawa banyak yang kedengerannya katrok (baca: ndeso) di kuping orang-orang modern. Itu pulalah yang seringkali disampaikan istriku saat ingin memberi nama (calon) anak kita. Paling-paling namanya gak jauh-jauh dari Wakijan, Sulastri, Sutiyem, Poniman, Ngadimin dll hehehe.. (mohon maaf kepada pembaca yang kebetulan mempunyai nama itu, tidak ada maksud menghina Anda lho) Jadi beberapa nama Jawa yang sering aku usulkan sebagai nama anak pun ditolak. Padahal, nama yang aku usulkan nggak jelek-jelek amat lho. :D

Saat ini, kecenderungan keluarga-keluarga muda Jawa memberi nama anak mereka dengan nama-nama asing yang kebarat-baratan ataupun ke arab-araban. Alasannya, memberi nama anak khan harus mengandung arti yang baik dan mencerminkan harapan orang tua. Walaupun itu baik, tapi di Jawa pun, banyak kok nama-nama yang juga mengandung arti yang baik. Contohnya seperti Bagas, Bramantyo dll.

Terlepas dari hak asasi masing-masing, sebaiknya sebagai orang Jawa, kita tetap memegang teguh pesan orang2 tua dahulu. Ojo dadi wong jowo sing ilang jawane...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar